Sabtu, 28 Desember 2013

Senin, 18 November 2013

PROGRAM KERJA 2011-2016





































































































































































































































































































































































PROGRAM KERJA PENGURUS 
MWC NU KECAMATAN PACET KABUPATEN MOJOKERTO
MULAI NOVEMBER 2011 - 2016
NO PROGRAM KEGIATAN TAHUN - BULAN APLIKASI KETERANGAN
2011 2012 2013 2014 2015 2016
1 Konferensi MWC Pengurus MWC, Pan
2 Pembentukan pengurus lengkap MWC 5 Tim Formatur MWC
3 Pelantikan Pengurus Baru MWC 6 Pengurus MWC, 
4 Pembentukan lembaga dan banom profesi 5 Pengurus MWC
5 Pelantikan lembaga banom profesi 7 Pengurus MWC
6 Musker MWC NU 11 Pengurus MWC
7 Rapat Pengurus harian 6x Pengurus MWC
8 Rapat Pengurus , lembaga/ banom Profesi 3x Pengurus MWC
9 Rapat dengan Ranting Banom 2x Pengurus MWC
10 Pembuatan Kalender MWC 9 9 9 Pengurus MWC
11 Safari Ramadlan 8 8 7 Pengurus MWC
12 Penggalangan zakat 8 8 7 Peng MWC, Lazis
13 Lailatul Ijtima/ pengajian/ pembinaan Ranting 3 (20) Pengurus MWC
14 Silaturrohim ke Tokoh NU MWC dan Cabang 9 9 8 Pengurus MWC
15 Melanjutkan pembangunan kantor MWC 12 1 - 12 1 - 11 Peng MWC, Panpemb
16 Peremajaan Ranting Baru 4 - 5 Pengurus MWC
17 Pelantikan pengurus Ranting 6 Peng MWC, Cabang
18 Orientasi Pengurus Ranting Baru Pengurus MWC
19 Ziarah tokoh NU dan Wali 1 2 Peng MWC, Pan Zi
20 Ziarah ke tokoh NU MWC 6 Pengurus MWC
21 Peringatan Harlah NU 6 Peng MWC, Panitia
22 Siaran Radio menjelang Buka Puasa 8 8 Pengurus MWC
Pengajian Rutin Pengurus MWC dan Ranting
Penggalangan Zakat mal pengurus/ warga
Pendirian Perpustakaan di kantor MWC









PROGRAM KEGIATAN LEMBAGA MULAI NOVEMBER 2011









NO PROGRAM KEGIATAN TAHUN - BULAN APLIKASI KETERANGAN
2011 2012 2013 2014 2015 2016
1 Peringatan PHBI LDNU
2 Pelatihan Kader Da'I muda LDNU
3 Siaran media elektronik LDNU
4 Pendataan Lemb Pend Formal, TPQ dan madin LP. MAARIF
5 Penyebaran buku aswaja LP. MAARIF
6 Pengenalan ke-NU-an ke sekolah LP. MAARIF
7 Pendataan Pondok Pesantren se Kec. Pacet RMI, LBMNU
8 PemberdayaanBahtsul masa'il 2x 2x RMI, LBMNU
9 Lomba baca kitab kuning bagi madin RMI, LBMNU
10 Pemberdayaan koperasi dan UKM LPNU
11 Pelatihan Budi daya pertanian LPPNU
12 Workshop keluarga sakinah aswaja LKKNU
13 Pembentukan Banom ranting yg belum ada LAKPESDAM
14 Membuat materi pembinaan Remaja NU yg menarik 6 LAKPESDAM
15 Mengadakan penyuluhan hukum dan advokasi LBHNU
16 Pendataan kesenian Islam  se Kec. Pacet LESBUMI
17 Mengadakan festival seni Islami (Banjari, Khoth dll) LESBUMI
18 Pendataan amil zakat se Kec. Pacet LAZISNU
19 Pembentukan & Pemberdayaan Lazisnu Ranting LAZISNU
20 Pengembangan dana Zakat /infaq LAZISNU
21 Pendataan aset-aset NU Kec. Pacet LAJ. WAQOF
22 Sertifikasi aset-aset NU bagi yang belu LAJ. WAQOF
23 Menjemput bola bagi calon waqif LAJ. WAQOF
24 Pemberdayaan masjid dan Ta'mir 2x 11x LTMNU
25 Pengobatan murah bagi warga NU LKNU, LKKNU
26 Penyuluhan kesehatan LKNU, LKKNU
27 Pendataan guru NU se Kec. Pacet PERGUNU
28 Pendataan sarjana NU se Kec. Pacet ISNU
29 Penguatan Aswaja bagi Guru NU ISNU










































































































































































Minggu, 17 November 2013

ASWAJA


AHLUSSUNNAH  WAL JAMA’AH
PENGERTIAN DAN AKTUALISASINYA
Ilmu-ilmu ke-Islaman pada pokoknya terbagi menjadi dua macam yaitu: pertama, Al-Ushul (prinsip-prinsip ajaran) yang menyangkut masalah akidah, keyakinan yang berkaitan dengan Tuhan,Rasul dan hari akhir, dan semua masalah yang langsung ada hubungan dengan hal-hal prinsip tersebut’ seperti wahyu, alam kubur, surge maupun neraka. Kedua, Al-Furu’ (Cabang-cabang) atau detailering ajaran-ajaran yang lebih praktis, yang menyangkut masalh fiqhiyah, yang berhubungan dengan kegiatan ibadah dan mu’amalah maupun jinayah.
Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sebenarnya secara sub-stansial berkaitan dengan masalah Al-Ushul tersebut,dan tidak berkaitan dengan masalah Al-Furu’. Demikian juga halnya dengan pengertian firqah-firqah yang disebut dalam sebuah hadist sebanyak 73 firqoh itu, tidak lebih dari konteks keushulan ini, (dalam masalah akidah bukan masalah fiqhiyah).
Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam Al-farqu baina Al-Firaq juga menjelaskan: “… Golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah,baik dari aliran rasional, maupun aliran skriktural (Ahlu Ar-ra’yi dan Ahlu Al-Hadist), termasuk para fuqaha’,qurra’, (Ahli Ulumil Qur’an),Muhadditsun’,mereka sependapat dalam suatu kesimpulan mengenai ke-Maha Esaan Allah, keadilannya, kebijaksanaan-Nya,nama dan sifat-sifat-Nya.,’ demikian juga dengan masalah kenabian,keimamahan, dan masalah-masalah ushuluddin lainnya, perbedaan yang terjadi diantara mereka hanya terbatas masalah-masalah furu’ , masalah fiqhiyah yang menyangkut pemahaman halal dan haram dan dalam perbedaan-perbedaan (fiqhiyah) ini, diantara mereka tidak ada saling menyesatkan atau menuduh fasiq termasuk dalam firqah ini, (Ahlussunnah Wal Jama’ah) mayoritas umat Islam, antara lain pengikut Imam Malik, Imam Abu Hanifah,Imam As-Syafi’i, Imam Al-Auza’i Imam As-sauri Imam Ibnu Abi Laila, Imam Abu Tsur, Imam Ahmad bin Hambal dan Ahluz Zahir (pengikut Abu Dawud al-Zohiri)”.
Term Ahlussunnah Wal Jama’ah, kemudian menjadi kabur akibat pemakaian sebutan ini, ada yang di terapkan dalam lingkup yang terlalu luas dan ada pula yang terlalu sempit; seperti yang di utarakan oleh Dr. Jalal M. Abd Hamid Musa dalam” Nasy’atul asy’ariyah wa Tathowwuruha”, malah mengilustrasikan masalah ini dengan mengatakan : “Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi rebutan sekian banyak kelompok, masing-masing berusaha membuat klaim ahluss sunnah untuk dirinya sehingga istilah ilmu kalam ini di gunakan untuk cakupan arti yang ‘am ( luas ) dan yang khas ( terbatas ), seperti yang dijelaskan di muka.
Dalam masyarakat islam dunia sekarang , di samping Asy’ariyah dan Maturidiyah, di sebut juga aliran ahlul Atsar yang bersumber dari ajaran Imam Ibnu Hambal, yang antara lain di kembangkan oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayim Al-Jauzi golongan Ahlul-atsar ini dengan tegas menyatakan diri sebagai Ahlussunnah wal Jamaah, dan Ibnu Taimiyah penulis prinsip-prinsip aliran ini dalam “ Minhajusunnah”.
PENGERTIAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH   
Dalam Ensiklopedia Arab ( Al Mausuah al Arabiah Al Muyassarah ) di ta’rifkan Ahlussunnah wal Jamaah itu sebagai : “ As Sunnah secara lughotan ( etimologi ) bermakna  at-thariqah  ( jalan atau aliran ), dan secara istilahan ( terminologis ) bermakna semua yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w baik dalam bentuk sabda, perbuatan ataupun pengakuan Dan Ahlussunnah adalah mereka yang berpegang teguh pada ajaran tersebut, sekaligus membela dan mempertahankannya”
Dr. Jalal M. Musa, mengemukakan ciri wawasan Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah “ Mengikuti jalan atau aliran para sahabat dan tabiin dalam berserah diri menghadapi masalah-masalah mutasabihat yangterdapat di dalam al-Qur’an ( ayat-ayat mutasabihat ) dan menyerahkan hakikat artinya kepada Allah sendiri, tidak suka mengembangkan pengertian metamorphosis ( ta’wil ) seperti kebiasaan mu’tazilah“. Selanjutnya dengan mengutip pendapat Al Isfarayini dikatakan: “ Kata Al-jamaah dalam kontek ini di artikan: sebagai perincian, bahwa mereka menggunakan dalil-dalil syriyah berupa Kitabullah, sunah Rasul, ijmaul A’immah dan Qiyas, mereka memandangnya sebagai masalah prinsip “.
Ijma’ as-shahabah di sepakati sebagai acuan dan dasar hokum, karena ada legitimasi dari Nabi s.a.w sendiri. Melalui pernyataan beliau: “ Apa yang saya lakukan pada hari ini dan juga yang di lakukan oleh para sahabatku”.
Sebagai istilah keagamaan maupun ke ilmuan, “Ahlussunnah wal jmaah” sudah popular sejak zaman sahabat, karena istilah tersebut memang bersumber dari Nabi Muhammad s.a.w sendiri. Kemudian istilah ini lebih di populerkan lagi oleh Al A’immah Al Arba’ah yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal; pada masa-masa selanjutnya, golongan Khawarij, rafidlah, Mu’tazilah dinyatakan “ bukan Ahlussunnah Wal Jamaah antara lain dengan alasan karena tidak mau mengakui sahnya Ijmak sebagai hujjah atau dalil hukum agama.
Menurut Ibnu Taimiyah, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan madzhabnya para sahabat yang diperoleh dari Nabi Muhammad s.a.w., Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat, bahwa Ijma’us-shahabah merupakan hujjah,tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam kedudukan Ijma’ angkatan-angkatan berikutnya seperti angkatan Tabi’in, Tabiut-tabi’in dan selanjutnyam apakah dapat dipandang sebagai hujjah atau tidak ?.
Dr.An-Nasyar, juga menyatakan bahwa Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah sudah tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam, dan terus berjalan maju ditengah-tengah Madzhab, untuk bertahan dan menghadapinya sepanjang waktu. Pada zaman khalifah Ali bin Abi Thallib r.a., Ahlussunnah sudah menghadapi kelompok Khawarij, kemudian Syi’ah. Kemudian pada zaman akhir generasi shahaba, terjadi gerakan Qadariyah dan Murji’ah, dan selanjutnya pada awal abad ke-2 H. Terjadi gerakan baru yang dikenal dengan Jahmiyah, yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah, yang kemudian disusul lahirnya gerakan Tajsim atau mujassimah (antroporsifisme dalam Islam).
Apabila madzhab fiqhiyah mencapai perumusan-perumusan kaidah fiqhiyah pada abad ke-2 H dengan lahirnya ilmu ushul-fiqih, yang disusul dengan Penyusunan sistematika Kitab-kitab fiqih seperti yang dapat kita kaji sekarang ini, maka firqah atau madzhab baru pada abad ke-3 H. Disusun metodologinya dan sistematikanya.
Pada pertengahan abad ke-3 H tampil tiga tokoh ilmu kalam dikalangan ahlussunnah waljama’ah yakni Abu Musa Al Asy’ari di Basrah, Abu Mansur Al Maturidi di samarkand dan Abu ja’far At-Thahawi di mesir hanya saja dalam popularitasnya At-Thahawi tidak sepopuler seperti kedua tokoh lainnya tersebut.  
Menurut Dr. Ahmad Amin, jika Al-Asy’ari sebagai pengikut madzhab Syafi’i (dalam masalah fiqih), maka Al-Maturidi adalah pengikut madzhab Hanafi. Oleh karenanya maka perbedaan yang terdapat diantara keduanya merupakan bias dari perbedaan antara As-Syafi’i dengan Hanafi, yakni lebih banyak bersifat perbedaan simantik dan dialektis. Dalam pengamatan Ibnu Zadah (Abdurrahim bin Ali) perbedaan antara Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi hanya dalam 40 (empat puluh) masalah saja. Sedangkan menurut Ibnu ‘Adzbah (Hasan bin Abdulmuhsin) perbedaan antara keduanya hanya dalam 30 (tiga puluh) masalah. Diantaranya seperti:
Pertama : Masalah Prinsip Iman.
Menurut Maturidiyah, Iman harus berupa pembenaran (tashdiq) dalam hati, dan pengakuan (iqrar) dengan lisan. Menurut As-Sya’ari, Iman itu disamping tasdiq dalam hati, harus diucapkan (nutqun) dalam bentuk dua syahadah (kesaksian).
Kedua : Kewajiban iman kepada Allah dengan akal
Menurut Al-Maturidiyah, orang yang berakal berkewajiban mengetahui dan beriman kepada Tuhan, meskipun belum mengetahui dan beriman ajaran wahyu. Jika tidak beriman dia dosa. Menurut As-Ay’ariyah, yang menyebabkan orang berkewajiban mengetahui dan beriman kepada Tuhan, adalah karena adanya wahyu yang didakwahkan. Bagi orang yang belum pernah menerima dakwah, dia tidak berkewajiban mengetahui dan beriman kepada Tuhan, karena dia dianggap tidak berdosa.
Ketiga : Masalah ‘ishmatul Anbiya’ (keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa).
Menurut Maturidiyah, semua Nabi terjaga dari perbuatan dosa, baik berupa dosa besar maupun dosa kecil. Menurut Asy’ariyah, semua Nabi terjaga dari perbuatan yang menimbulkan dosa kecil.
Sementara orang yang mengeritik ajaran Asy’ariyah sebagai penghambat kreativitas, terutama ajaran “al-kasb” yang dipandang berbau jabariyah dalam menyelamatkan aqidah Islamiyah dari penggusuran Hellenisasi habis-habisan, seperti yang dialami oleh Kristen. Meskipun adalah agama Semitik (agama yang berasal dari wilayah Timur Tengah yang umumnya monotheis) dan Nabi Isa a.s. adalah orang yahudi, akan tetapi agama itu kini telah kehilangan Semitiknya dan digantikan dengan lebih banyak wajah Yunani dan Romawi. Sebagai contoh, menurut Van den Berg, konsep ketuhanan “Bunda Maria” dalam kristen adalah kelanjutan mitologi (kepercayaan) Yunani-Romawi tentang Dewi Minerva. Kenyataan ini merupakan salah satu bukti bahwa Kristen sudah begitu banyak dipengaruhi dan berkompromi dengan Hellenisme (kebudayaan dan filsafat Yunani). Dalam hal ni Nurcholis Majid juga mengatakan, bahwa penghargaan harus diberikan kepada As-Asy’ari setinggi-tingginya, karena berhasil membendung efek Hellenisasi dari pemikiran kefilsafatan para filosof seperti Ibnu Sina, Al-Kindi maupun Al-Farabi. Sangat boleh jadi, tanpa kehadiran dan sikap Al-Asy’ari yang demikian ketat, ajaran tauhid Islampun akan terkompromikan dengan kepercayaan-kepercayaan setempat, meskipun peranan pembendungan ini tidak seluruhnya dilakukan oleh Al-Asy’ari sendiri.
AKTUALISASI AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH
Untuk dapat memahami dan apalagi mengaktualisasikan Ahlussunnah wal jamaah dalam kehidupan individu maupun masyarakat muslim, tentunya tidak hanya didekati melalui doktrinnya saja. Sedikitnya ada tiga macampendekataan utuk memahami dan mengaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jama’ah ini.
Pertama : pendekatan doktrunal, yakni memahami dan mengaaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jamaah dengan memahami duktrin-doktrin dan ajaran-ajaran yang dirumuskan dalam kitab-kitab ilmu kalam sunni, maupun melalui diskusi-diskusi dan pengajian formal atau non formal mulai dari konsep keimanaan kepada Tuhan, sampai masalah kedudukan manusia terhadap karyanya, dan masalah-masalah ghaibiyah.
Kedua : pendekatan historis, yakni menulusuri perkembangan kesejarahan; mengapa sikap-sikap ahlus sunnah waal Jama’ah menjadi tegar dalam , mensupremasikan dalil-dalil naqli dari pada dalil-dalil aqli, mengapa Ahlussunnah Wal Jamaa’ah mempertahankan sikap tawasuth dan tasamuh, dan mengapa Ahlussunnah Wal jamaa’ah selalu berusaha mencari konsensus dalam mewujudkan kemaslahatan umat selama tidak melanggar batasan syara’ ? sebagai contoh, ahlussunnah Wal Jamaah berusaha mempertemukan titik temu antara perbedaan yang terjadi diantara para sahabat dan ulama. Abdul Malik bin Marwan, seorang kholifah Umawiyah, setelah terjadai konflik dengan keluarga Sd. Ali bin Abi Thalib r.a., masih berusaha meaklukan konsiliasi dalam masyarakat islam. Slogan al-jama’ah dipopulerkan dimana-mana:
نَحْنُ جَمَاعَةٌ وَاحِدَةٌ تَحْتَ رَايَةِ اللهِ
“Kita adalah satu jama’ah dibawah naungan panji-panji agama Allah”.
Abdul Malik bin Marwan juga berusaha mengurangi perpecahan umat, antara lain dengan konsep  “Tarbi” yaitu menyebut empat nama sahabat besar berurutan (Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radiyullahu anhu ) ebagai paket penghormatankepada mereka. Lahirnya “Tarbi”ini merupakan produk kesejarahan, bukan bersumber dari doktrin atau dogma semata.
Sikap mencari konsensus untuk persatuan dam kemaslahatan umat ini ditampilkan lagi oleh kholifah Uman bun Abdul Aziz; yang memerintahkan penghapusan kalimat yang berbau kritikan terhadap keluarga Ali bin Abi Thalip r.a dari semua khutbah dan menggantikannya dengan bagian ayat Al-Quran yang memberi arti sangat akomodatif dan integratif, yaitu:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلِإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى اْلقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلكُمْ تَذَكَّرُوْنََ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada keluarga dekat / kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mrngambil pelajaran”.
Masih banyak lagi yang masih dapat kita ambil dari khasan kesejahteraan. Seperti peran pengembangan Ahlussunahwal Jamaa’ah melalui intrumen birokratis, yang pernah di lakukan oleh Salahuddin Al Ayyubi, Nizhomil muluk dan lain sebagainya; yang semuanya memberikan inspirasi kepada kita, bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah mempunyai kaitan kesejarahan dengan peran kaum birokratis, dan fenomena seperti itu dapat di lakukan kapan saja.
Ketiga pendekatan kultural, yakni usaha mengembangkan nilai-nilai dan sikap kemasarakatan yang diberikan oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kita tahu btapa banyakknya perbedaan pendapat antara imam-imam madzab, khususya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali; tetapi perbedaan itu tidak menjadikan mereka saling bermusuhan. Imam Safi’i sendiri pernah tidak membaca Qunut waktu sembahyang shubuh, pada saat beliau ada di madinah demi menghormati kepada imam malik yang diakui sebagai gurunya. Imam Ahmad bin Hambal dalam waktu yang cukup lama mendoakan secara khusus kepada iman Safi’i sebagai penghormatan jasa-jasa keilmuannya.
Sikap keagamaan yang mengutamakan dalil-dalil naqliah dari pada dalil-dalil aqliah, memberikan pelajaran kepada kita bahwa yang mutlak benar adalah wahyu, baik yang berupa Al-Qur’an maupun as-sunnah, sedang yang dari ijtihad manusiawi tetap hanya memiliki kebenaran nisbi saja, masih mungkin mengandung kekurangan-tepatan, baik karena perubahan waktu maupun situasi sosial.
Sifat menerima hidup dalamkemajmukan merupakan nilai sosial yang patut dikembangkan, terutama bagi masarakat pluralistik di indonesia ini. Keangkuhan sosial bagai manapun akan banyak menimbulkan kemadlahatan.
Sikapo keilmuan yang terbuka seperti yang di kemukakan Al-Ghozali merupakan sikap ilmiah yang patut di lestarikan, dimana keilmuan ( baik yang sariyah maupun yang ghoiru sariyah ) dapat di kembangkan bersama-samauntuk kemaslahatan umat.
Dengan memahami Ahlissunnah Wal Jama’ah melalui beberapa pendekatan tersebut, diharapkan lebih operatif dalam mengembangkan kualitas umat islam, dan bukan sekedar doktrin-doktrin yang normatif yang tidak jelas bagaimana cara menerapkannya.



PERANAN PENDIDIKAN DALAM MELESTARIKAN NILAI-NILAI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
(MELALUI KAJIAN METODOLOGI)
Sebagai suatu doktrin ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada jauh sebelum tumbuh sebagai “aliran” dan “gerakan”, bahkan teminologi atau istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu sudah dipakai sejak zaman Rosulullah s.a.w. dan para sahabatnya; hanya saja belum di pakai sebagai “nama aliran” atau gerakan kelompok tertentu. Hal yang memicu lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai aliran dan gerakan tertentu dari komunitas islam adalah sebagai reaksi dan koreksi terhadap aliran dan gerakan lain dikalangan umat islam tyang mengan cam kemapanan doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, terutama menguatnya pengaruh aliran dan gerakan Mu’tazilah pada zaman Abbasiyah, khususnya pada zaman Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), Al-Mu’tasim (218-228 H/833-842 M) dan Al-Watsiq (228-233 H/842-847 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara yang dilindungi oleh pemerintah.
Dalam penyebaran  faham Mu’tazilah itu, terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah umat islam dan khususnya Mu’tazilah sendiri. Khalifah Al-Ma’mun dalam upayanya menanamkan pengaruh Mu’tazilahmelakukan pemaksaan kepda seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga kepada seluruh masarakat islam. Dalam pemaksaan faham Mu’tazilah itu, banyak ulama yang menjadi panutan masarakat menjadi korban penganiyayaan di antaranya adalah Imam Hambali ( ahmad bin Hambal), Muhammad bin Nuh, dan lain-lain lagi yang tidak mau mengubah pendiriannya untuk mengattakan bahwa “ Al-qur’an itu adalah mahluk”  (seperti yang diyakini Mu’tazilah), maka mereka di penjarakan dan di aniaya. Ketegaran dan ketegasan mereka dalam mempertahankan keyakinan/aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu mendapat simpati luas dari masarakat dan sekaligus menanamkan kebencian dan antipati terhadap Mu’tazilah dan kekuasaan mendukungnya.
Ketika Al-Mutawaqil (233-247 H/874-861 M) menjada khalifah Abasiyah menggantikan Al-Watsiq dia melihat bahwa posisi sebagian khalifah perlu mendapat dukungan mayoritas dari masarakat.sementara itu kelompok mayoritas islam setelah kasus “mihnah” atau ujian aqidah terhadap pengikut imam bin Hambal. Oleh sebabitu pada tahun 856 M, khalifah Al Mutawajil membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara atau pemerintahan.
Bagi masarakat awam, sebenarnya sulit menerima doktrin mu’tazilah yang rasional-filosofis, mereka lebih suka ajaran-ajaran yang sifatnya sederhana yang sejalan dengan sunnah Nabi Muhammad s.a.w dan tradisi para sahabatnya. Dalam keadaan yang demikian itu muncullah tokoh intelektual dan ulam islam Abul Hasan Al-As ary wafat 324 H/935 M ) dengan ajara-ajaran aqidah (teologi) baru yang berusaha mengakomodasi aspirasi masarakat, dengan tetap berpegangan teguh pada sunnah nabi s.a.w serta tradisi para sahabatnya. Ajaran atau doktrin teologi al-As Ary ini kemudian di kembangkan secara dinamik oleh murid-murid dan ulama-ulam pengikutnya, seperti: Abu Hasan Al Bahili, muhammad Al Baghillani, Abdul Maali Al Juwaini (Imam haramain), abu hamid Muhammad Al Ghozali, Muhammad bin Yusuf As Sanusi, dan lain-lain. Dan disamarkand, muncul tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah yang lain ya’ni Abu Mansur Al Maturidi (wafat333 H/ 944 M) kemudian ajaran teologinya di kenal Al Maturidiyah. Di Bukhara, aliran Mturidiyah dikembangkan oleh Ali Muhammad Al Basdawi. Meskipun pendukung Al Asariyah maupun Maturidiyah, secara metodologi mengikuti imamnya, tetapi dalam fatwa-fatwa qauliyah tidak seluruh sama; disana terjadi dinamika konsepsi sejalan dengan realita dan penemuam-penemuan baru yang dihadapi. Dan dari kejadian kajian khazanah keilmuan dan data-data kesejahteraan Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini dapat di tarik suatu Wal Jama’ah secara utuh, perlu beberapa macam pendekatan, setidak tidaknya adalah pendekatan doktrinal (mengkaji dari sisi ajaran yang di pandang baku), historis (aspek kesejahteraan yang mempengaruhi perkembangan Ahlussunnah Wal Jamaah selama ini), dan kultural (pengaruh budaya dan tradisi yang mendukung maupun menentang Ahlussunnah Wal Jama’ah) itu sendiri.

PERAN PENDIDIKAN TERHADAP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Sampai pada awal pemerintahan bani salju, yakni pada masa tugril Beq dan perdana meterianya yang benama Abu Nasr bin Mansur Al Kundari (416-456 H), tekana-tekanan terhadap golongan dan gerakan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah masih sanagt kuat, bahkan ajaran dan tokohtokoh Ahlussunnah Wal Jamaah mendapat cacian dan kutukan mimbar-mimbar jumaat dan ceramah-ceramah di Masji-Masjid. Bahkan Al Kundari pernah memerintahkan penangkapan terhadap tokoh\tokoh dan ulama-ulama Al Asariyah. Diantara yang pernah dipenjarakan adalah Abu Abdul Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi dengan ddemikian penyebaran pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum dan As-Sy’ariyah secara khusus mengalami hambatan.
Tekanan dan istimedasi terhadap gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah Pengembangan ajaran-ajarannya berakhir, setelah tterjadi pergantian kekuasaan dari Tugril Beg ke Alp Arsalan dengan perdana menterinya yang masyhur, yakni; Mizhomul Mulk (1063-1092 M) yang dengan setia mendukung faham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Aliran As-Asy’ariyah mengalami kemajuan pesat bahkan mampu mendominasi pemikiran dunia Islam melalui “Madrsyah Nizhomiyah” yang didirikan dizhomul Mulk madrasyah ini mempunyai cabang hampir seluruh kota penting dalam wilayah kekuasaan Saljukiyah. Semua sekolah-sekolah Nizhomiyah menerapkan kurikulum yang sarat ajaran-ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Imam Al-Ghozali pernah memimpin lembaga Nizhomiyah ini,dan berkesempatan luas untuk mewarnai Nizhomiyah dengan faham As-Asy’ariyah.
Di mesir dan Suriah teologi As-Suriah ini juga perkembangan dengan dukungan pemerintahna salahuddin Al-Ayyubi, pendirian dinasti Ayyubiyah, setelah menghapuskan ajaran Asiah dari pusat pendidikan Al-Azhar dan sekolah-sekolah di mesir dan suriah lain warisan dinasti Fathimiyah yang berkuasa sebelumnya, dan selanjutnya sistem dan kurikulum Al-Azhar sebagai pusat pengembangan keilmuan dan peradaban Islam bercitra Sunni Sampai selkarang.
Perkembangan aliran As-Asy’ariyah dibelahan dunia timur ( India,pakistan,afganistan sampai ke Indonesia) berkat dukungan Muhammad Al-Gazwani ( 971-1030 M), Sultan ketiga dinasti gaswaniyah. Pada mulanyamahmud Al-Ghazwani menganut madzhab Hanafi, tetapi, Gazwani dalam penyebaran pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah antara lain dengan :
Pertam, memprakarsai penulisan kitab –kitab keislaman yang bermuatan ajaran Sunni.
Kedua,  membangun madrasyah-madrasyah besar sebagai pusat pengajaran.
Ketiga,  membentuk Majlis-majlis keilmuan dan keagamaaan yang diikuti oleh para ulama’ dan cendekiawan.
Keempat, mengirim ulama’ dan muballigh-muballigh untuk menyebarkan ajaran sunni sekaligus menghadapi gerakan-gerakan lain yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Khusus diIndonesia pemikiran-pemikiran Al-Asyariyah dikenal luas melalui kitab-kitab karya al-Ghazali dan As-Sanusi. Pengaruh As-Sanusi di Indonesia populer dengan konsep teologinya terhadap sifat Allah dan rasulnya yaitu sifat Wajib,Mustahil dan Jaiz.,tentang sifat-sifat wajib yang 20 (dua puluh), sifat mustahil 20 (Dua puluh), dan sifat Jaiznya hanya satu (1) bagi Allah Juga pengelompokan sifat-sifat Allah dalam tiga bagian, yakni sifat “Nafsiyah”(kedirian Allah), sifat “salbiyah” (sifat yang membedakan zdat Allah dengan lainnya) dan sifat “ Ma’ani” (sifat yang Abstrak). Disamping itu juag konsep sifat rasul, yakni sifat wajib empat(4) sifat mustahil empat(4) dan sifat jaiz satu (1). Konsep-konsep akidah ( teologis) tersebut begitu merasuk dalam kehidupan masyarakat luas, baik melalui pengajian, karya-karya tulis, maupun kurikulum sekolah atau madrasyah.
Di spayol ( andalusia) dan afrika utara, peranan iIbnu Tumart sangat besar. Dia yang memerintahkan Agar karya-karya Al-Asy’ari dan Al-Ghozali dihidupkan kembali, yang sebelumnya dilarang bahkan dikabar oleh penguasa dinasti murabithim. Penyebaran gerakan Al-Asy’ariyah menjadi lebih kuat setelah Ibnu Tumart berhasil membangun kekuasaan politik di Afrika dan Andalusia pada tahun 1114M yang diberi nama daulat “Al-muwahhinun”, kekuasaan ini berlangsung sekitar satu abad (515-667 H / 1121-1269 M). Pada zaman dinasti muwahindun inilah hidup ulama’-ulama’ dan cendikiawan besar sunni, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Mulkun,Ibnu Zur dan sampai sekarang kawasan itu seperti maroko, Al-Jazair tunisia dan Libia masih menjadi wilayah-wilayah sunni yang sangat kuat kecuali spayol(andalusia) yang berubah menjadi kristen lagi. Pusat-pusat pendidikan disana sampai sekarang masih merupaka pusat pengembangan dan pengajian Islam sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah).
PEMBUDAYAAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH MELALUI PENDIDIKAN SEKOLAH
Sebagaimana dikemukakan pada bagian kedua (peran pendidikan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah) bahwa pendidikan telah berperan banyak dalam penyebaran dan pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini, bahkan hanya dalam pemahaman tetapi juga dalam pengamalan. Kita dapat menyaksikan, banyak langgar-langgar atau surau-surau, masjid-masjid membiasakan jama’ahnya melakukan “pujian” dengan membaca : “Wujud,Qidam,Baqa’,Muhafatul lil hawaditsi,Qiyamuhu binafsihi, wahdaniyat,Qudrad,Iradat,....dan seterusnya”, suatu model pembudayaan melalui pendidikan klasik dinegara kita. Tetapi tradisi semacam itu sekarang mulai terasa langka. Dipondok-pondok pesantren dulu, dianjurkan “Riyadloh”(tirakat). Melek wengi”(tidak tidur waktu malam) “ tahajjud” Wiridan “ dan lain-lain. Sebagai pengamalan penghayatan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menyatakan,bahwa “ilmu’itu sumbernya adalah Allah, yang dapat diberikan kepada manusia mulai dua jalur usaha, yakni dengan ‘Ta’allum” (belajar) dan”Takarrub”i (mendekatkan diri kepada Allah). Sekarang ini, masalah internaliasasi nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah macam itu sudah kurang sekali. Dilain sisi pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah secara ilmiah kurang memadai, antara lain karena :
Pertama: pemahaman tentang Ahlussunnah wal jama’ah kurang proporsional ( Fi ghori maudi ihi), Ada kecenderungan penyempitan pemahaman dan wawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti pertanyaan : “yangb tidak qunut dalam shalat subuh, itunbukan Ahlussunnah ...”, atau “yang tidak mau manaqiban itu bukan Ahlussunnah...”, cara-cara semacam itu akan mengkerdilkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah secara ilmiah, sebab didalam buku-buku atau kitab-kitab yang mu’tabarpun tidak pernah masalah qunut itu menjadi ukuran/para meter ke Ahlussunnah Wal jama’ah. Dikalangan Madzahibul Arba’ah yang melakukan “qunut’ saat melaksanakan shalat subuh.yang hanya madzhab Syafi’i, sedangkan Hanafi, Maliki dan Hambali tidak melakukannya. Apakah berarti mereka bukan termasuk golongan Ahlussunnah?.
Kedua;  Buku-buku pelajaran dan bacaan bebas tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah, umumnya disusun hanya dengan pendekatan”Doktrinal” yang Normatif, tanpa mengembangkan wawasan sesajarahan. Misalnya, tentang konsep Al-Juaini yang mengharuskan “ Ta’wil” terhadap semua ayat yang memberikan gambaran tentang Allah secara “jasmani” sepert muka (wajah),tangan(yad), mata (ainun), duduk (Istawa) dan lain-lain padahal Al-Assy’ari sendiri tidak melakukannya. Semua itu menunjukkan bahkan bahwa Doktrin Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini cukup dinamis dan kedinamisan itu tidak lepas dari pengaruh sosiohistoriknya.
Ketiga: kalau dahulu mulai zaman Al-Asy’ari dan Al-maturidi juga pada zaman generasi selanjutnya. Masalah Aqidah dan prinsip-prinsip teologi Ahlussunnah Wal-jama’ah , selalu dikembangkan melalui metode deologis, memberi peluang untuk bertukar pikiran, mengadu argumen dan bersifat terbuka. Sekarang ini kerapkali kita gunakan pendekatan yang sebaliknya guru banyak bersikap otoriter, serba memaksakn, tidak banyak memberi peluang dialog tidak memberikan penjelasan yang memuaskan, malah menimbulkan rasa penasaran pada peserta didiknya.
Hal demikian itu mungkin terjadi karena beberapa, seperti;
a.       Keterbatasan pengajar dalam menguasai subtansi materi yang diberikan.
b.      Keterbatasan wawasan dalam masalah diajarkan, sehingga media dialog sulit dikembankan.
c.       Kelemahan metodologi.
Akhirnya terasa sekali perlunya kajian-kajian Ahlussunnah Wal-jama’ah yang lebih Intensif, baik secara Doktrinal, Historis, maupun Kultural. Dan untuk itu semua kami kira perlu upaya mengembangkan “laboratorium Ahlussunnah Wal-jama’ah”, yang bekerja untuk jangka panjang dengan intesitas kajian yang utuh.